Perilaku Konsumen

Klik disini untuk memesan

Klik disini untuk memesan

atau jawabannya bisa chat 081227048161 

Tren ”Mendadak Atlet” dan Tumbuhnya Ekonomi Kebugaran 

Orang Indonesia semakin sehat. Setidaknya, itu yang tampak di media sosial akhir-akhir ini. Hampir  setiap orang punya teman yang tiba-tiba sanggup bangun pagi-pagi buta di hari Minggu untuk berlari.  Kerabat yang dulunya malas bergerak sekarang rutin nge-gym. Kolega yang dulu sakit-sakitan kini  segar bugar setelah aktif yoga. 

Linimasa pun semarak dengan unggahan para kreator konten, pemengaruh, dan artis yang berbagi  tips olahraga, resep rendah kalori, atau mempromosikan produk kebugaran. Ada penyanyi rap  Saykoji yang kini rajin angkat beban dan memotivasi fans-nya untuk hidup sehat, juga Marshanda  yang sukses menurunkan berat badannya hingga puluhan kilogram. 

Singkat kata, hidup sehat telah berkembang menjadi tren baru yang positif. Fenomena ini tidak asing,  bahkan jamak ditemukan di banyak negara pascapandemi Covid-19. 

Survey Asia Pacific Health Priority 2023 oleh Herbalife menunjukkan, seusai pandemi, 77 persen  responden di kawasan Asia Pasifik mengubah gaya hidupnya jadi lebih sehat lewat olahraga teratur,  tidur cukup, makan sehat, dan memperhatikan kesehatan mental. 

Sentimen ini paling banyak ditemukan di Thailand (93 persen), Indonesia (92 persen), Filipina (87  persen), dan Vietnam (86 persen). Di Indonesia, 86 persen responden juga menyatakan tidak ragu  merogoh kantong lebih dalam untuk hidup lebih sehat. 

Bagi sebagian orang, uang bukan kendala untuk mengubah gaya hidup, selama mampu mengelola  keuangan dan cerdik mencari strategi. Nova (28), misalnya, mengakali gaya hidup sehatnya dengan  aktif mencari kelas-kelas uji coba (trial) pilates, hyrox, dan yoga. 

Sejak Mei 2024, sudah ada dua studio pilates dan hyrox yang Nova datangi. Kini, ia sedang mencari  kelas trial yoga. Dengan strategi itu, ia bisa menekan pengeluaran selagi masih mencoba-coba jenis  olahraga baru. 

Untuk menjadi anggota tetap studio pilates, harga rata-ratanya tidak murah, yakni Rp 3,5 juta per  bulan untuk lima kali pertemuan. Sementara itu, untuk kelas hyrox, biayanya Rp 1,5 juta per bulan  untuk 12 kali pertemuan. 

”Kelas trial ada yang 100 persen gratis, ada yang berharga murah untuk 1-3 kali pertemuan. Sejauh  ini, aku memang belum daftar full-membership di mana pun karena masih cari-cari yang pas di  kantong dan jadwalnya cocok,” kata pegawai sebuah lembaga swadaya masyarakat asal Jakarta itu 

Di sela-sela mencari kelas yang jadwal dan biayanya cocok, Nova juga rutin berlari, olahraga yang  sudah ia jalani sejak 2018. Setidaknya 1-2 kali dalam setahun ia akan membeli sepatu lari baru,  menyesuaikan jarak tempuh sepatu atau jika sepatunya mulai terasa tidak nyaman.

Nova berusaha tidak terlalu boros membeli produk lari. Apalagi, ia kini mesti mengalokasikan uang  lebih untuk menekuni pilates dan yoga. ”Kalau enggak dibatasi,boncos juga, nih. Nanti badan sehat,  kantongnya yang enggak sehat,” ucapnya sambil tertawa. 

Sementara itu, Arkhelaus Wisnu (32), yang sejak tahun ini mulai menekuni lari, menyiasatinya  dengan berburu sepatu merek lokal atau sepatu dengan harga diskon. Ia memiliki dua sepatu lari,  satu merek lokal seharga Rp 600.000 dan satu merek luar negeri dengan harga diskon, dari Rp 1,9  juta menjadi Rp 1,1 juta. 

Baju jersey larinya pun rata-rata di bawah Rp 100.000 dan dibeli saat diskon. ”Jersey lari yang mahal  malah saya dapat sebagai kado dari teman-teman yang mendukung hobi lari saya,” ucap Arkhelaus. Sebagai pelari, pengeluaran terbesarnya adalah biaya pendaftaran untuk mengikuti berbagai ajang  lari. Saat mendaftar Jakarta Inter Marathon, Arkhelaus mengeluarkan Rp 575.000. Saat mengikuti  ajang lari Mandiri Jogja, ia juga mesti menyiapkan uang sekitar Rp 600.000 untuk tiket kereta Jakarta Yogyakarta-Jakarta. Baginya, pengeluaran ekstra itu investasi demi hidup yang lebih berkualitas.  ”Saya lari buat membuktikan kalau fisik saya enggak lemah-lemah banget. Dampaknya enak juga.  Badan lebih bugar dan berisi, galau berkurang. Soal duit, ya, nanti cari lagi, ha-ha-ha,” kata  Arkhelaus. 

Ada permintaan, ada pasokan. Seiring dengan maraknya tren hidup sehat di kalangan urban,  beragam peluang baru bisnis terbuka. Muncul komunitas dan pusat kebugaran dengan harga  terjangkau yang menjawab macam-macam kebutuhan para pegiat olahraga urban. Salah satunya,  The Gym Pod yang menyediakan fasilitas kontainergym privat tanpa syarat minimum keanggotaan  bagi orang-orang yang butuh privasi dalam berolahraga. Pengunjung cukup membayar Rp 27.000-Rp  30.000 untuk menyewa satu bilik kontainer plus isinya yang bisa dipakai seorang diri atau maksimal  empat orang. Konsep gym ini sepenuhnya dioperasikan secara digital dan otomatis. Mulai dari  pemesanan tempat, pembayaran, hingga pemakaiannya dikendalikan melalui aplikasi. Lokasi  kontainer gym biasanya memanfaatkan sudut-sudut ruang publik yang tidak terpakai, seperti  stasiun MRT, gedung gelanggang olahraga, dan lapangan parkir. 

Chief Technology Officer The Gym Pod Lucius Andi Putra Asikin menuturkan, ide awal berdirinya The  Gym Pod dimulai di Singapura, yakni membuka tempat fitness dengan harga terjangkau tanpa syarat  minimum keanggotaan hingga berbulan-bulan seperti gym tradisional pada umumnya. ”Intinya,  hidup sehat itu enggak perlu mahal dan ribet-ribet daftar membership. Cukup Rp 30.000 sudah  bisa start,” katanya. Inisiatif itu dengan cepat menarik ceruk pasar khusus, yakni orang-orang yang  butuh privasi saat berolahraga atau mereka yang merasa terintimidasi untuk berolahraga di  tempat fitness yang ramai. ”Makanya, sering disebut gym untuk para introvert dan pemula  dan demand-nya ternyata cukup besar di Indonesia,” kata Lucius. 

Sejak buka di Jakarta pada Januari 2024, The Gym Pod telah memiliki tiga cabang aktif dan akan  membuka tiga cabang lain di Jabodetabek. Tingkat okupansinya mencapai 80-90 persen per hari  dengan pendapatan kotor per bulan sekitar Rp 30 juta per cabang, yang akan dibagi bersama pemilik  lahan atau ruang publik yang dipakai. ”Kalau dibandingkan revenue tempat gym tradisional masih  cukup jauh. Namun, dengan cost yang jauh lebih rendah karena fully-automated dan hemat energi,  bisnis ini sudah seperti passive-income,” katanya.

Tren hidup sehat juga memunculkan bisnis baru berbasis komunitas, seperti RoccaSpace. Berdiri  sejak 2018 di Jakarta dengan banyak komunitas olahraga, RoccaSpace berkembang menjadi ajang  promotor olahraga dan telah mempekerjakan lebih dari 70 instruktur olahraga. Total anggota  komunitasnya mencapai rata-rata 100.000 orang per kelas. 

RoccaSpace menyediakan kelas olahraga yang bisa dilakukan beramai-ramai, seperti pound fit,  aerobik, zumba, yoga, hingga pilates. Aktivitas komunitas ini umumnya juga memanfaatkan ruang ruang publik yang tersedia di berbagai kota di Indonesia. 

Laporan ”The Global Wellness Economy: Indonesia” yang dirilis oleh Global Wellness Institute pada  2023 menunjukkan, pasar ekonomi kebugaran di Indonesia telah tumbuh pesat dalam beberapa  tahun terakhir, khususnya pascapandemi. Perputaran roda ekonomi kebugaran di Indonesia pada  2022 telah mencapai 36,4 miliar dollar AS, menduduki peringkat ke-19 dunia dari total 218 negara  serta ranking ke-7 dari 45 negara di kawasan Asia Pasifik. 

Empat subsektor dalam ekonomi kebugaran yang tumbuh paling cepat di Indonesia adalah makanan  sehat dan nutrisi (13,9 miliar dollar AS), perawatan diri dan kecantikan (7,6 miliar dollar AS),  pengobatan tradisional dan komplementer (5 miliar dollar AS), dan aktivitas fisik atau olahraga (3,2  miliar dollar AS). 

Seiring dengan meningkatnya kesadaran hidup sehat di kalangan masyarakat, prospek ekonomi  kebugaran di Indonesia diperkirakan terus meroket. Apalagi, dengan bergaungnya tren ini di media  sosial dan munculnya fenomena fear of missing out (FOMO) baru untuk berolahraga. ”Justru bagus.  Ini FOMO yang baik karena akhirnya orang-orang jadi terdorong hidup lebih sehat,” kata Lucius. 

Di tengah gelombang kesadaran akan pentingnya gaya hidup sehat, olahraga lari menjadi semakin  meroket sebagai pilihan utama dalam berolahraga. Namun, lebih dari sekadar kebugaran fisik, lari  juga menciptakan sebuah fenomena sosial yang menarik perhatian: Fear of Missing Out (FOMO).  FOMO, atau rasa takut ketinggalan, tidak hanya terbatas pada tren atau acara sosial. Di dunia  olahraga, khususnya lari, FOMO memainkan peran penting dalam memotivasi banyak orang untuk  terlibat dan tetap konsisten dalam kegiatan ini khususnya Gen Z. 

Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat tren ini. Platform seperti Instagram penuh  dengan gambar orang-orang yang menunjukkan kebugaran mereka melalui lari, baik itu di taman  kota, lintasan, atau bahkan maraton besar. Ini tidak hanya membangkitkan rasa ingin tahu, tetapi  juga dorongan untuk bergabung dan melakukan hal serupa. 

Orang-orang atau influencer di media sosial berbagi cerita tentang pengalaman mereka dalam lari  dapat memicu perasaan FOMO pada individu yang belum terlibat secara aktif. Foto-foto mereka  menyeberangi garis finish atau berbagi pencapaian kilometer yang telah ditempuh seringkali  menjadi inspirasi bagi orang lain untuk ikut serta. 

Meskipun dinyatakan FOMO dalam olahraga dianggap positif, namun terdapat bahaya yang  mengancam. Salah satu bahaya utama FOMO dalam olahraga adalah mendorong seseorang untuk  berlatih di luar batas kemampuan diri. FOMO dapat mendorong seseorang untuk mengabaikan  batasan fisiknya dan terlibat dalam latihan yang lebih intens atau berdurasi lebih lama dari yang  seharusnya. Hal ini dapat meningkatkan risiko cedera dan stres pada jantung. Selain itu overtraining

dapat mengakibatkan cedera serius, termasuk cedera otot, ligamen, dan bahkan kerusakan jangka  panjang pada tubuh. 

Bahkan akhir-akhir ini muncul fenomena joki Strava. Jasa “joki Strava” mengacu pada layanan  berbayar untuk melakukan aktivitas lari menggantikan orang lain, tetapi menggunakan akun Strava  milik pemesan. Fenomena ini menjadi topik perbincangan hangat di kalangan warganet karena  sebagian orang merasa bahwa layanan semacam ini mendukung keinginan berlebihan seseorang  untuk mendapatkan validasi dan pujian. Mereka beranggapan bahwa menggunakan jasa joki untuk  aktivitas lari menipu dan tidak jujur, karena pencapaian yang ditampilkan di akun Strava sebenarnya  bukan milik orang tersebut, melainkan hasil dari usaha orang lain yang dibayar. 

Sumber: Diolah dari berbagai sumber 

Baca kasus di atas secara mendalam, kemudian jawab pertanyaan-pertanyaan berikut dengan  argumentasi yang kuat dan didukung oleh konsep, teori, atau referensi yang relevan. Jawaban  disusun secara analitis dan mengacu pada kasus di atas. 

1. Menggunakan Model Motivasi Mowen dan Minor, buatlah analisis tentang motivasi yang  mendasari perkembangan minat masyarakat Indonesia terhadap aktivitas kebugaran! 35 

2. Bagaimana pendapat anda tentang FOMO dalam olah raga, buatlah analisi dengan  menggunakan Teori Hierarki Kebutuhan Maslow! 35 

3. Jika Anda adalah pelaku bisnis, bagaimana anda menyikapi trens ini, buatlah analisis  dengan menggunakan aspek motivasi sebagai dasar pertimbangan, serta  pertimbangkan terkait pemenuhan kebutuhan yang bersifat utilitarian dan hedonis dari  aktivitas kebugaran tersebut. 30 

Hindari melakukan plagiasi, copy paste sumber lain tanpa melakukan paraphrase. 

Kriteria Penilaian: 

Kedalaman analisis (berbasis teori dan data relevan) 

Kemampuan menghubungkan konsep dengan kasus  

Kreativitas dalam mengusulkan pemecahan masalah 

Argumentasi yang kritis dan terstruktur 

Originalitas jawaban


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jawaban Pengantar Akuntansi TT 2

Tugas 6 lab pajak

Akuntansi Keuangan Menengah 1